Pages

22 December, 2014

Surat dari Ibu


Assalamu'alaikum

Anakku, apa kabar di sana? Alhamdulillah ibu, bapak, kakak, dan adikmu sehat. Mudah-mudahan kamu tetap sehat dan kuat ya, nak. Anakku, Ibu rindu... ibu merasa kehilangan sekali, teringat terus akan wajahmu yang manis. Rasanya sudah lama ibu tidak memasak makanan kesukaanmu. Karena kini kamu sudah jauh dari ibu, ibu pun tak pernah lagi mendengar ucapan salam, kecup tangan hangat dan lambaian tangan ketika kamu hendak pergi. Anakku, ketika kamu berkemas, di saat memasukkan baju dan barang-barang lainnya seakan seinci demi seinci kamu menjauh dari pandangan. Ibu mohon maaf karena begitulah hati seorang ibu. Rasanya ibu ingin sekali memeluk berbisik menghentikan kepergianmu, tapi kebahagiaan kamu kini jauh lebih penting, Nak, daripada ego Ibu. Yang penting ibu yakin Allah selalu melindungimu.

Sekarang kamu merantau jauh, Nak, tak mampu lagi Ibu mengingatkanmu untuk bangun malam dan shalat. Ibu tak mampu lagi mengatakan baik dan buruk ketika kamu berbuat, Nak. Karenanya Ibu begitu berharap agar kamu tetap shalat mengaji dan berbuat baik kepada siapapun. Hormati yang lebih tua, karena mereka juga orang tua bagimu. Hormati dosen, kakak-kakak barumu di sana, dan cintai teman-temanmu selayaknya ibu mengajarkanmu, Anakku... mudah-mudahan Allah memberi kesempatan kita untuk berjumpa kembali.

Salam sayang,
Dari ibu yang melahirkanmu

Wassalamu'alaikum

-o0o-

Kudapatkan sepucuk surat itu dari seorang pemuda yang kutemui di persimpangan jalan. Aku ingat saat itu lampu lalu lintas berwarna merah dan ia perlahan mendekat ke arahku. Dengan senyum teduhnya ia mengangsurkan secarik kertas berwarna merah ke arahku dan berkata, "ada surat dari ibu, mbak."

Bak terhipnotis, aku masih memandangi pria itu dengan tatapan tak mengerti bahkan saat ia sudah berlalu dan menghampiri pengendara yang lain. Perlahan aku mendapatkan kembali kesadaranku dan kubuka kertas yang diberikannya tadi, dan ternyata ada serangkaian kalimat di sana.

Dari surat ini aku tahu, ternyata seperti itu hati seorang ibu. Kalau saja ibuku bisa menuliskan perasaannya, mungkin beliau akan mengatakan hal yang sama seperti dalam surat ini.

-o0o-

Ibuku bukan orang berpendidikan tinggi, tapi beliau bersikeras memperjuangkan aku untuk bisa mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Meskipun dengan begitu ibu harus bekerja tanpa kenal lelah dari pagi sampai malam, sampai pagi lagi.

Ibuku tidak peduli jika beliau harus makan dengan lauk pauk seadanya asalkan aku bisa makan teratur dan tetap sehat di Jogja. Sayang, karena merantau aku jadi tidak bisa lagi disuapi olehnya ketika aku menolak untuk makan.

Ibuku adalah orang paling pemikir yang pernah aku temui. Bahkan saat aku merasa biasa saja karena beliau belum sempat menjengukku, ibu malah berkata, "MAAF ya, Ibu belum sempat ke sana." Dan itu cukup menghancurkan hatiku.

Ibuku adalah seorang ibu yang larangannya paling banyak di dunia. Awalnya aku sebal, marah, tapi semakin dewasa aku semakin mengerti bahwa semua itu demi kebaikanku.

-o0o-

Sejak dulu, permintaan ibu padaku hanya satu: "tolong jangan kecewakan ibu." Aku berharap aku bisa mengabulkan permintaan beliau. Pernah suatu kali aku benar-benar mengecewakan beliau sampai membuat beliau mengatakannya dengan jelas di hadapanku. Aku tak ingin hal itu terulang lagi. Sudah cukup aku saksikan ibuku kecewa karena banyak hal selama ini.

-o0o-

Ibu, aku janji aku akan jadi putri kebanggaan ibu. Aku janji tidak akan mengecewakan ibu seperti yang ibu minta. Semoga ibu selalu sehat dan selalu berada dalam lindungan Allah, sampai aku bisa membahagiakan ibu seperti ibu membahagiakan aku.

Selamat hari ibu. 

No comments:

Post a Comment